Senin, 31 Agustus 2009
meradang
karna ia masih tak henti mengumpatmu
tidak juga perlu sentuh kulitku
karna kuman yang kau tabur
masih membuatnya iritasi
jangan memandangku
seolah dengan cinta yang kau punya
bagiku semua telah basi
aku hanya menyimpanmu di dadaku
sebagai yang memang semestinya masih ada
s.a.j.a
aku mengenangmu sebatas ingatan yang
m.e.n.j.e.m.u.k.a.n
.
Minggu, 30 Agustus 2009
aku yang akan terus hilang...
hari yang terenggut
ketika waktu yang penuh cinta
kau bunuh dalam-dalam
katakanlah…bagaimana membuat hati menjadi jernih kembali
ketika yang terjadi adalah kau pupuk dia
dengan air yang yang kau peras
dari mataku
katakanlah…bagaiman aku membuka dadaku
untuk memelukmu padanya
ketika seluruh ruangannya
telah kau penuhi dengan sayatan
maka diamlah…
biarkan aku larut dalam dunia yang kureka sendiri. dalam malam yang kepenuhi langit-langitnya dengan bintang-bintang dari seluruh jernih harapanku.
maka lihatlah…
kau akan kehilanganku, dalam hitungan waktu yang tak mampu kau fahami. dalam harapmu yang tak mampu membatasiku.
maka rasakanlah… dalam seluruh hidupmu, kau tidak akan menemukanku.
Sabtu, 29 Agustus 2009
di ujung hari
malam yang tersisa adalah sekelebat cerita
tentang cinta dan penantian
aku menemukan.., tapi tak merasakanmu
aku pun berkaca
pada jendela yang memantulkan purnama,
kemudian bertanya dalam hati
dimana kau letakkan diriku...
Senin, 24 Agustus 2009
merindukan yok....
kapan kah semua kembali seperti dulu?
selalu ada engkau yang sering kulihat
memenuhi ruangan ini dengan asap rokokmu
selalu ada engkau yang menghabiskan persediaan kopiku
atau, melahap seluruh berita koranku di suatu pagi
selalu saja ada engkau yang tiba-tiba datang tanpa alasan,
juga tiba-tiba tidur di sofa usangku berjam jam
aku masih belum bisa berhenti
mempersalahkan diri yok...
ketika dulu tubuhmu penuh dengan kabel-kabel pemantau denyut nadi
bercampur aroma anyir darah yang mulai mengering
serta muka dan leher yang penuh jahitan, lebam disana sini
hingga beberapa hari lalu,
ketika aku bisa membawamu kembali menginjak lantai rumahku
meskipun semua terasa hambar...
tapi aku bahagia...kau telah mulai pulih
dan kita bisa ngopi secangkir berdua lagi kemarin...
(merindukanmu yok, sahabat terbaikku)
.
Jumat, 14 Agustus 2009
gggrrrhhhhhhhhhhhhhhhhhhh....
yang tak kekal
Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
(WS Rendra).
(abahe, dalam perjalanan kediri-nganjuk, agustus 2009)
.