Minggu, 21 Februari 2010

Serenade Senja

Limabelas menit. Langit menjadi poros hentakan sayap-sayap mungil yang mengepak. Melukis awan yang mulai meng-abu abu dengan titik-titik dinamis. Ah...benar-benar nuansa malam di ujung senja.

Lima belas menit. Udara sore itu mengejang. Membekukan nanar mata yang tandas terkuras. Ada lipatan pilu di balik udara dingin. Ada jemari kaki yang bermain di ujung genangan keruh. Menggeliat, melentur, menghentak.

Limabelas menit. Harmonisasi jengah yang berujung di bumi basah. Semangkuk keengganan terkulai. Meliuk-liuk dalam genggaman kepasrahan. Indah, tapi ini adalah kegilaan tanpa konsep, pppfffhhhhh...

Limabelas menit. Jiwaku menyuguhkan sekotak cinta. Pagelaran sarat ketakjuban yang membunuh waktu perlahan-lahan. Dan inilah aku. Kesadaran murni ketika setiap inci nafas adalah ketabahan.

Lima belas menit. Matahari mengintip risau di sela awan. Seolah mengusirku dari kebisuan. Tapi disinilah aku....dalam diam yang menguatkanku.


Tanah basah, 21 februari 2010

.

Kamis, 18 Februari 2010

'Evolusi Emosional'..., ketika rasa cinta belajar dewasa

Membingkai ketiadaan dalam pemahaman yang kian beringsut dari celah keihlasan

Aku, kau, dan beberapa helai hasrat itu seakan terus berotasi

Kesenjangan, perbedaan, dan kerinduan. Semua lebur, bertafakur dalam emosi yang mengalur

Saat itu, ekspresimu adalah nafasku
Jemarimu, adalah tarian senyum di ujung bibirku
Dan cintamu, adalah harmoni hidupku

Aku mencoba berkolaborasi dengan waktu
Mencoba meleraimu dari tangis nakalku
Mendewasakan rasa, ketika emosi bergejolak

Karna engkau bukanlah sebuah kebetulan
Bukan pula sebuah ketidaksengajaan
Engkau adalah skenario Tuhan untukku

Jadi biarlah aku egois tentangmu
Mengakarkanmu dalam tekstur hati,
Sampai nanti....
Sampai pemahamanku tak mampu membuatmu mengerti


Dalam gerimis, ditepi pematang sawah...
18 februari 2010


.

Kekasih Tak Lagi Bisa Menanti.....

Sampai di sini...,
Ketika senjakala meremas hati
Aku menunggumu di balik gerimis
Hingga alam pun meranggas di pelupuk musim

Sampai disini...,
Ketika jemari kehilangan eksistensi
Aku hanya mampu menahan
Gejolak yg mulai menjadi pecundang

Sampai disini...,
Anyir aroma kenangan itu sangat menyengat
Menusuk hingga tawa berubah
Menjadi erangan yg meringkuk gusar

Sampai disini...,
Akalku tak lagi menyusutkan kecemburuannya
Terhadap dunia yg kian menyusutkanmu
Dari batas verbal yg mengejawantah

Akhirnya sampai disini...,
Kekasih tak lagi bisa menanti..........

Ketika bumi kian lengang,
16 februari 2009.


.

Rabu, 10 Februari 2010

kenap usang disudut jantung

Setidaknya garis2 langit yang tersisa itu masih sanggup berbicara.
Tentang kekinian yang tak lagi menapak. Atau penggalan-penggalan lalu yg sebatas bingkai melapuk.

Setidaknya angin pagi itu masih menembus rongga waktu.
Mencuri keindahan pagi untukku. Menggumpalkan ceceran kalimat yg memburai entah termakan apa..., siapa...

Setidaknya aku masih disini.
Menikmatimu dalam gemersah tawa kering. Karna udara yang membuatmu mampu kuhirup telah menerbangkanmu hingga ujung langit.


Kau...
Dalam ingatan
Ketika hanya kau, yang begitu meruang dan membuatku kalang kabut.

Kau...
Dalam renungan
Ketika detakan semakin kencang memicu jantung waktu.

Kau...
Dalam kehilangan
Ketika musim hujan justru mencetak petak-petak kering di ladang pagi

Dan kau...
Dalam kekosongan
Ketika malam kembali mempertanyakan tentangku padamu




*--...Inilah aku, realitas gamang bagimu...--*
Tanah basah di sisi sungai, 10 februari 2010

.

Beranda....., kian terasing

Biarkan aku mencintaimu diam-diam. Hatiku toh hanya segumpal daging merah. Tak kan mampu menguasaimu. Disana hanya dapat menyimpan sobekan waktu yang terbiar...kala tarian gerimis berdansa dipucuk daun padi.

Biarkan aku merindukanmu diam-diam. Adaku pun toh hanya di ujung jalan. Aku tak kan punya cukup bekal bertamu padamu. membawakanmu setangkup gejojak yang semestinya maumu...ketika jalan yg kau bentang begitu panjang.

Biarkan aku merasakanmu diam-diam. Aku toh hanya sebuah "kesederhanaan". Yang tiba-tiba tersangkut di ranting malam...kala hasrat keabadian menetes di reruntuhan awan.

Jantung hati....
Kau adalah ikrar hati
Bahkan ketika Tuhan Yang Maha Romantis
Mengutuk bumi
Kau adalah dengkuran yang berulang
Ketika pagi enggan berdebat dengan mata
Kau adalah gemercik ketenangan
Ketika keheranan merangkum sekian tanya

Dan kau, jantung hati....
Kau adalah epilog,
Ketika cinta tak lagi tenggelam
dalam pemahaman hidup yang sama sekali dangkal.


dinding bambu,
ketika senyap mencaci hujan 06 februari 2009