Selasa, 11 Maret 2008

sruput...

Entah apa yang istimewa dari segelas kopi, yang jelas saya menikmatinya.
Menikmati ketika harum aroma kopi bersamaan keluar dengan tabir uap tipis yang mengepuldari bibir gelas. Menikmati ketika rasa pahit kopi yang tak bisa tertutupi walaupun disandingkan dengan beberapa sendok gula, tercecap di ujung lidah.


Saya menikmati kopi apa adanya sebagai kopi, dan saya menikmati kopi dengan segala suasana yang diciptakannya, itu saja. Tak peduli, apakah kopi itu di sajikan di lapak papan tua di sebuah simpang di Aceh, disajikan di desa kecil di pucuk gunung di jawa, di gerobak angkringan yang hangat di Jogja, di sebuah kafe mungil di pojokan ibukota, ataukah di dasar lantai sebuah mall di Jakarta.


Kopi, sebuah berkah Tuhan yang sejarahnya dimulai dari sebuah negara di tanduk Afrika bernama Ethiopia. Sejarah biji kopi dimulai ketika Ali al-Shadili gemar meminum sari biji ini untuk membuatnya tetap terjaga demi menjalankan sholat malam.
Kini sejarah kopi berubah menjadi sebuah “komoditas”dari asal mula daerahnya yang bernama Kaffa di Ethiopia, dari mulanya berupa biji kopi yang dibeli seharga 2 (dua) Penny dari petani Ethiopia dan kemudian dijual di gerai-gerai bermerk “star***k” seharga 2 (dua) Pound kepada para konsumennya [itu sebabnya saya berpikir dua kali meminum kopi di gerai tersebut].


Lupakan soal komoditas, terlalu berat untuk obrolan ringan tentang kopi dalam halaman ini. kita bicara saja tentang kopi dan filosofinya, dan kisah-kisah di baliknya.


Lain tempat, lain pula cara menikmatinya. Bicara Eropa, bicara kopi, maka tak lepas dengan budaya mengopi penduduk Wina Austria dengan secangkir “wienner Melange” ditambah schalagobers atau krim manis diatasnya, dengan sebatang coklat “milka” dan sepotong Sacher Torte di dalam kafe yang hangat ketika di luar salju turun dengan suhu -10 derajat celcius.


Bicara Indonesia, bicara kopi, maka tak lepas dengan Aceh.


Betapa padatnya warung kopi di Aceh. Di Aceh, hampir di setiap pertemuan jalan, berdiri dua atau tiga kedai kopi disudutnya dan bila di jalan raya lurus memanjang, hampir setiap 50 atau 100 meter akan dijumpai kedai kopi yang berbeda. Bukan pemandangan aneh bila ada lima ruangan ruko yang berdiri, dua diantaranya berdiri kedai kopi, bahkan kedia-kedai kopi yang berbeda pemilik itu dapat menjalankan usahnya secara berdampingan secara harmonis. Setiap Kedai memiliki minimal 12 meja (setiap meja dapat menampung empat orang) sebagai tempat menikmati kopi. Keadaan seperti ini bukan saja terjadi di daerah pusat Kota Banda Aceh saja, tetapi juga sampai ke pelosok, sungguh pemandangan yang menarik.


Ngopi adalah bagian dari budaya dan cara orang Aceh bersosialisasi. Saya juga teramat yakin, meski saya bukan antropolog atau sosiolog handal, bila budaya minum kopi modern yang menginvansi budaya Aceh baru sebatas peminjaman istilah cafe untuk penamaan saja, tetapi bukan pada fungsi sosialnya apalagi bila hal itu dianggap fungsi budaya, masih terlalu jauh.


Kopi Aceh terasa lebih kental dan pekat di lidah saya, terasa lebih hitam dan berkarakter. Konon kopi Aceh bisa membuat orang yang meminumnya menjadi lebih “riang”, dan kopi Aceh ditenggarai tidak membuat jantung berdetak lebih kencang. Mungkin tipikal seperti itu memang khas tipikal kopi “robusta” sumatra.


Pernah suatu ketika, saya merasakannya. Menikmati kopi, di sebuah simpang yang ramai di Meulabouh, ditemani sepiring mie aceh, sebungkus rokok “antah berantah” dan ditemani beberapa orang teman, benar-benar suatu Malam hari yang sungguh ramai.


Lain di Aceh, lain pula di Jogja. Kalau anda pernah berkunjung ke angkringan, ada sebuah angkringan yang terkenal dengan racikan kopinya, angkringan tugu namanya. orang jogja menyebutnya dengan kopi joss. secangkir kopi yang hitam -super hitam- dengan kekentalan yang melebihi normal, puanass, dan masih ditambahi dengan -gilanya- sebongkah arang yang masih membara, yang diambil dari tungku yang menyala. Oleh pak’e penjual angkringan, dimasukkanlah sebongkah arang memerah itu ke dalam gelas kopi. Setelah itu desisan bunyi bara areng yang bertemu dengan cairan kopi terdengar, disertai dengan selapis asap putih yang mengepul dari bibir gelas…luar biasa…!!! Ditemani dengan sepiring jadah [ketan: red] bakar, beberapa bungkus rokok, di alasi tikar plastik di trotoar jalanan jogja, di malam yang terang dan tak berhujan, saya dan beberapa teman saya sungguh menikmatinya.


Kalau bicara Jakarta, tak terlalu asing rasanya kafe dengan berbagai macam pernak-perniknya, dari kafe bermodel klasik di seputaran cikini -sederetan dengan taman ismail marzuki-, hingga berbagai macam gerai kafe di seputaran mal-mal di jakarta


Tapi entahlah, entah mereka entah saya. mengopi tak sekedar melulu masalah gaya hidup. Cara mengopi saya masih terasa polos, dan tak bergaya. Mengopi bagi saya ya melulu mengopi, tanpa ada embel-embel merk, harga, gengsi atau apa.


Mengopi bagi saya hanyalah sekedar cerminan. Mengopi di awal hari sebagai sebuah tetenger bahwa hidup yang akan saya lewati nanti seharian, tak akan lebih pahit daripada kopi yang saya minum di pagi hari itu. Begitu pula dengan mengopi di Akhir hari juga sebagai cerminan, bahwa kegembiraan yang kita dapat, kebahagiaan yang kita peroleh, tak seharusnya membuat kita lupa diri, dan bila sekalinya saya lupa diri…. pahitnya kopi di akhir harilah yang menyadarkan saya…..

Jika selama ini Anda biasa menyeduh dengan cara menuangi bubuk kopi dengan air panas, kini cobalah terapkan jurus lain. Buatlah kopi dalam pot (cerek) yang langsung didihkan, jangan biarkan uapnya keluar dan gunakan cangkir kecil untuk meneguknya. Pasti enak……*sruputt*

sumber : dikutip dari berbagai artikel, Blog, buku, novel dari para penggemar kopi



.

Tidak ada komentar: